Laman

Rabu, 15 April 2009

Culture Approach Sebagai Solusi Penyaluran Kredit Oleh Lembaga Keuangan Mikro

Latar Belakang

Stabilitas dan ketahanan keuangan merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Stabilitas tersebut diwujudkan melalui sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter. Di sisi fiskal, kebijakan diupayakan untuk memantapkan kesinambungan fiskal dengan melanjutkan penurunan defisit secara bertahap melalui peningkatan pendapatan negara melalui pajak dan peningkatan efektivitas dan efisiensi pengeluaran negara.

Sementara di sisi moneter, kebijakan diupayakan untuk menurunkan laju inflasi, menjaga perkembangan suku bunga, dan mengendalikan nilai tukar rupiah pada tingkat wajar. Di sisi moneter, stabilitas ekonomi mengalami tekanan yang cukup berat, tercermin dari melemahnya nilai tukar dan tingginya laju inflasi. Adapun beberapa faktor eksternal yang mempengaruhinya antara lain adalah naiknya tingkat suku bunga luar negeri (Fed Fund) dan harga minyak dunia. Sementara itu pengaruh faktor internal yang dominan antara lain tingginya ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi yang tinggi, sebagai dampak dari kenaikan beberapa komponen adminstered prices, serta meningkatnya kebutuhan valas di dalam negeri. Dengan perkembangan tersebut, maka kebijakan moneter diarahkan ketat (tight bias) melalui instrumen suku bunga dengan tetap menjaga potensi pertumbuhan ekonomi yang ada. Sedangkan di sisi perbankan, dapat dikatakan bahwa perkembangan indikator-indikator perbankan cukup menggembirakan melanjutkan kecenderungan perbaikan yang telah berlangsung setidaknya sejak tahun 2004. Industri perbankan semakin sehat dan bermanfaat, ternyata juga telah berkembang semakin kokoh sebagaimana yang ditunjukkan oleh kemampuannya dalam menyerap berbagai gejolak dalam perekonomian.

Dilihat dari angka pertumbuhan kredit, maka kredit konsumsi adalah jenis kredit yang mengalami lonjakan pertumbuhan terbesar dari 9,51 persen pada 2006 menjadi 24,84 persen di 2007, sedangkan pertumbuhan kredit modal kerja dari 16,98 persen menjadi 28,57 persen, dan kredit investasi dari 12,51 persen menjadi 23,15 persen (Badan Pusat Statistik, 2008). Secara nasional, porsi kredit konsumsi masih kecil, yaitu sekitar 28,20 persen dari total kredit perbankan, dibandingkan porsi kredit UMKM pada 2007 mencapai 50,18 persen. Sedangkan untuk porsi kredit konsumsi sebagai salah satu komponen dari kredit UMKM mencapai 50,41 persen. Dengan demikian, sebenarnya kredit produktif yang dikucurkan perbankan nasional untuk UMKM hanya sebesar 25,29 persen. Jumlah ini sangat kecil jika dikaitkan dengan potensi unit usaha UMKM yang mencapai 48,9 juta dan hanya sekitar 39 persen atau 19 juta unit usaha yang sudah dilayani perbankan.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, di penghujung tahun 2007, pemerintah meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit dengan jaminan PT Askrindo dan Perum Sarana Pengembangan Usaha, dengan plafon kredit sampai dengan Rp 500 juta. Pemberian kredit untuk usaha mikro, kecil, dan menengah melalui program kredit usaha rakyat (KUR) terus mengalami kenaikan mulai dari akhir bulan juni 2008 sekitar Rp 8,3 Triliun dengan jumlah debitur sekitar 900.000, menjadi sekitar Rp 9,6 triliun pada bulan juli dengan jumlah debitur sekitar satu juta, sedangkan yang ditarget pemerintah pada akhir tahun 2008 adalah sebesar Rp 14,5 triliun dengan jumlah debitur sekitar 1,5 juta orang (Kompas, 2008). jika dilihat dari potensi UMKM yang belum memperoleh fasilitas kredit mencapai 30 juta UMKM, maka realisasi KUR tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan rata-rata KUR yang diberikan perbankan masih sebesar Rp 69 juta per debitur, atau masih di atas plafon kredit mikro yang hanya sebesar Rp 50 juta. (www.mediadata.co.id). Pemberian kredit dengan jaminan pemerintah ini diharapkan dapat mendorong dan mengembangkan UMKM, yang selama ini kesulitan mengakses dana perbankan lantaran tidak mampu menyediakan agunan, sekaligus dimaksudkan sebagai upaya pengentasan kemiskinan.
Beberapa indikasi menyebutkan bahwa beberapa perbankan telah menyelewengkan prinsip kemudahan dan kecepatan penyaluran kredit pada UMKM. Pihak perbankan masih saja terjebak pada persyaratan administratif yang berbelit dan waktu pengucuran yang lama. Padahal pelaku UMKM memerlukan proses yang tidak berbelit dan proses waktu yang cepat. Berbagai penyimpangan yang terjadi sebenarnya bila dikaji lebih dalam dilakukan pihak perbankan karena kekhawatiran mereka jika terjadi kredit macet. Walaupun dana KUR telah dijamin oleh pemerintah, perbankan cenderung menghindari adanya proses administrasi yang terlalu lama dan cukup melelahkan dalam mengurus kredit macet ke pemerintah. Berbagai kekhawatiran perbankan diatas sebenarnya pokok permasalahannya adalah masih rendahnya tingkat kepercayaan pada UMKM dan proses pengawasan pada nasabah agar mereka dapat mengembalikan pinjaman tepat waktu.
Fungsi intermediasi perbankan yang memiliki andil yang besar dalam penyalurkan kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya sejak pasca krisis yang banyak terjadi fenomena kredit macet dimana tingginya suku bunga pinjaman yang tidak diimbangi oleh kemauan bank untuk menyalurkan dana kredit, hal ini dikarenakan ketidaksempurnaan informasi (asymetric information) yang terjadi dalam pasar uang sehingga membuat tingginya resiko usaha. Fungsi intermedisasi perbankan selain diupayakan melalui perbankan konvensional juga ditempuh melalui perbankan syariah. Pertumbuhan kredit perbankan year on year (yoy) hingga minggu ketiga Agustus 2008 telah mencapai kisaran 35 persen, sedangkan target pertumbuhan kredit BI pada 2008 sekitar 24,6 persen atau Rp 246,2 triliun (Bank Indonesia, 2008).
Masih kurang maksimalnya penyaluran kredit kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sehingga mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi di sektor riil, yang selama ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perekonomian indonesia khususnya pasca krisis karena memilki andil yang besar dalam proses pemulihan dan penguatan perekonomian dan juga sektor ini yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, sehingga dapat mengurangi beban masalah penganguran nasional akibatnya meningkatnya jumlah angkatan kerja. Sehingga tidak salah apabila pembangunan dan penguatan sektor ini menjadi begitu penting.

Berbagai permasalahan diatas sebenarnya dapat diatasi dengan cara pendekatan sosial ekonomi, jika pihak perbankan dapat melakukan pengawasan dan pembinaan secara intensif maka risiko kredit macet pun dapat diminimalisir. Salah satu bentuk pendekatan sosial ekonomi ini adalah melalui pendekatan kebudayaan. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki berbagai keragaman budaya dan pola pikir serta perbedaan masalah sosial ekonomi di masing-masing wilayah. Sehingga pola penyaluran dan penagihan KUR harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi daerah tersebut.

Hal ini yang mendasari kami untuk mengembangkan konsep LKM melalui Culture Approach sebagai solusi dalam penyaluran kredit kepada usaha Mikro, kecil, dan Menengah (UMKM), karena kami melihat masih kurang maksimalnya penyaluran dan penagihan kredit yang diakibatnya ketidaksempurnaan informasi (Asymetric Information) mengenai program kredit oleh perbankan , khususnya di daerah-daerah yang terpencil. Untuk itu kami, melalui konsep pendekatan kebudayaan (Culture Approach) yang menitikberatkan pada peran kebudayaan atau adat istiadat, norma, nilai dan kondisi sosial-ekonomi dalam penyaluran dan pembinanaan pengelolaan kredit Usaha Rakyat, salah satunya melalui kerja sama dengan Para Ketua Adat serta organisasi kemasyarakatan dalam memaksimalkan pengawasan dan pembinaan pengelolaan KUR di daerahnya, sehingga kedepannya diharapkan terjadi adanya pemerataan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di seluruh Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar