Latar Belakang
Stabilitas dan ketahanan keuangan merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Stabilitas tersebut diwujudkan melalui sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter. Di sisi fiskal, kebijakan diupayakan untuk memantapkan kesinambungan fiskal dengan melanjutkan penurunan defisit secara bertahap melalui peningkatan pendapatan negara melalui pajak dan peningkatan efektivitas dan efisiensi pengeluaran negara.
Sementara di sisi moneter, kebijakan diupayakan untuk menurunkan laju inflasi, menjaga perkembangan suku bunga, dan mengendalikan nilai tukar rupiah pada tingkat wajar. Di sisi moneter, stabilitas ekonomi mengalami tekanan yang cukup berat, tercermin dari melemahnya nilai tukar dan tingginya laju inflasi. Adapun beberapa faktor eksternal yang mempengaruhinya antara lain adalah naiknya tingkat suku bunga luar negeri (Fed Fund) dan harga minyak dunia. Sementara itu pengaruh faktor internal yang dominan antara lain tingginya ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi yang tinggi, sebagai dampak dari kenaikan beberapa komponen adminstered prices, serta meningkatnya kebutuhan valas di dalam negeri. Dengan perkembangan tersebut, maka kebijakan moneter diarahkan ketat (tight bias) melalui instrumen suku bunga dengan tetap menjaga potensi pertumbuhan ekonomi yang ada. Sedangkan di sisi perbankan, dapat dikatakan bahwa perkembangan indikator-indikator perbankan cukup menggembirakan melanjutkan kecenderungan perbaikan yang telah berlangsung setidaknya sejak tahun 2004. Industri perbankan semakin sehat dan bermanfaat, ternyata juga telah berkembang semakin kokoh sebagaimana yang ditunjukkan oleh kemampuannya dalam menyerap berbagai gejolak dalam perekonomian.
Dilihat dari angka pertumbuhan kredit, maka kredit konsumsi adalah jenis kredit yang mengalami lonjakan pertumbuhan terbesar dari 9,51 persen pada 2006 menjadi 24,84 persen di 2007, sedangkan pertumbuhan kredit modal kerja dari 16,98 persen menjadi 28,57 persen, dan kredit investasi dari 12,51 persen menjadi 23,15 persen (Badan Pusat Statistik, 2008). Secara nasional, porsi kredit konsumsi masih kecil, yaitu sekitar 28,20 persen dari total kredit perbankan, dibandingkan porsi kredit UMKM pada 2007 mencapai 50,18 persen. Sedangkan untuk porsi kredit konsumsi sebagai salah satu komponen dari kredit UMKM mencapai 50,41 persen. Dengan demikian, sebenarnya kredit produktif yang dikucurkan perbankan nasional untuk UMKM hanya sebesar 25,29 persen. Jumlah ini sangat kecil jika dikaitkan dengan potensi unit usaha UMKM yang mencapai 48,9 juta dan hanya sekitar 39 persen atau 19 juta unit usaha yang sudah dilayani perbankan.
Fungsi intermediasi perbankan yang memiliki andil yang besar dalam penyalurkan kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya sejak pasca krisis yang banyak terjadi fenomena kredit macet dimana tingginya suku bunga pinjaman yang tidak diimbangi oleh kemauan bank untuk menyalurkan dana kredit, hal ini dikarenakan ketidaksempurnaan informasi (asymetric information) yang terjadi dalam pasar uang sehingga membuat tingginya resiko usaha. Fungsi intermedisasi perbankan selain diupayakan melalui perbankan konvensional juga ditempuh melalui perbankan syariah. Pertumbuhan kredit perbankan year on year (yoy) hingga minggu ketiga Agustus 2008 telah mencapai kisaran 35 persen, sedangkan target pertumbuhan kredit BI pada 2008 sekitar 24,6 persen atau Rp 246,2 triliun (Bank Indonesia, 2008).
Masih kurang maksimalnya penyaluran kredit kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sehingga mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi di sektor riil, yang selama ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perekonomian indonesia khususnya pasca krisis karena memilki andil yang besar dalam proses pemulihan dan penguatan perekonomian dan juga sektor ini yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, sehingga dapat mengurangi beban masalah penganguran nasional akibatnya meningkatnya jumlah angkatan kerja. Sehingga tidak salah apabila pembangunan dan penguatan sektor ini menjadi begitu penting.
Berbagai permasalahan diatas sebenarnya dapat diatasi dengan cara pendekatan sosial ekonomi, jika pihak perbankan dapat melakukan pengawasan dan pembinaan secara intensif maka risiko kredit macet pun dapat diminimalisir. Salah satu bentuk pendekatan sosial ekonomi ini adalah melalui pendekatan kebudayaan. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki berbagai keragaman budaya dan pola pikir serta perbedaan masalah sosial ekonomi di masing-masing wilayah. Sehingga pola penyaluran dan penagihan KUR harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi daerah tersebut.
Hal ini yang mendasari kami untuk mengembangkan konsep LKM melalui Culture Approach sebagai solusi dalam penyaluran kredit kepada usaha Mikro, kecil, dan Menengah (UMKM), karena kami melihat masih kurang maksimalnya penyaluran dan penagihan kredit yang diakibatnya ketidaksempurnaan informasi (Asymetric Information) mengenai program kredit oleh perbankan , khususnya di daerah-daerah yang terpencil. Untuk itu kami, melalui konsep pendekatan kebudayaan (Culture Approach) yang menitikberatkan pada peran kebudayaan atau adat istiadat, norma, nilai dan kondisi sosial-ekonomi dalam penyaluran dan pembinanaan pengelolaan kredit Usaha Rakyat, salah satunya melalui kerja sama dengan Para Ketua Adat serta organisasi kemasyarakatan dalam memaksimalkan pengawasan dan pembinaan pengelolaan KUR di daerahnya, sehingga kedepannya diharapkan terjadi adanya pemerataan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di seluruh Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar