Laman

Rabu, 15 April 2009

BBM Nabati Indonesia

Published by Mochammad Rizky M

Minggu lalu pemerintah telah menurunkan harga BBM, yaitu premium turun menjadi Rp. 5.000 perliter. Untuk solar turun menjadi Rp. 4.800, sedangkan untuk minyak tanah masih Rp. 2.500 perliter. Dengan menurunnya harga BBM diharapkan dapat menggerakkan sektor riil yang selama ini mengalami kesulitan akibat naiknya harga BBM. Namun, apakah harga akan selamanya turun? Mengingat minyak bumi merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) secara cepat dan harga minyak bumi juga sangat dipengaruhi oleh pasar global.

Fluktuatifnya harga minyak dunia dipengaruhi oleh sisi penawaran dan sisi permintaan. Dalam sisi penawaran dipengaruhi oleh perubahan ketersediaan cadangan minyak dunia dan juga keadaan politik di negara-negara anggota OPEC. Untuk sisi pemintaan dipengaruhi oleh perubahan permintaan negara-negara industri, seperti: US, China, India, dan Jepang, serta para spekulan perusahaan minyak yang mengambil keuntungan terhadap naiknya harga saham energi dan juga adanya kebijakan mengenai pengembangan energi alternatif.

Mustahil apabila harga minyak dalam negeri akan terus turun, melihat banyak faktor yang mempengaruhi harga minyak dunia. Di Indonesia, konsumsi terbesar BBM sangat dipengaruhi oleh tiga sektor yaitu industri, rumah tangga dan juga transportasi. Ketiga sektor tersebut merupakan sektor fundamental dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Selain itu, perusahaan yang sangat membutuhkan pasokan minyak adalah PLN. Perusahaan listrik negara (PLN) ini sangat berperan penting dalam memasok energi listrik ke masyarakat, karena harus memenuhi kebutuhan 16.035 megawatt listrik di seluruh Indonesia. Jadi, apabila kebutuhan BBM terganggu, kondisi perekonomian Indonesia juga akan mengalami goncangan.

Betapa besar dampak yang akan ditimbulkan apabila kebutuhan BBM dalam negeri terganggu. Untuk itu, perlu adanya kebijakan pemerintah untuk mengatasi fluktuatifnya produksi dan harga BBM diharapkan dapat melancarkan aktifitas perekonomian Indonesia serta juga untuk meminimalisasikan ketergantungan masyarakat terhadap BBM. Salah satu solusinya dengan mengembangkan BBM nabati atau biasa disebut biofuel yang punya potesi besar di Indonesia dan juga ramah lingkungan.

BBM Nabati

Pengembangan biofuel di Indonesia memang belum menjadi sesuatu yang utama, namun menjadi agenda penting untuk menciptakan keamanan energi di Indonesia dengan melihat besarnya pengaruh dari pemanfaatan energi khususnya minyak bumi dalam menggerakkan aktifitas ekonomi, juga tidak lepas dari isu lingkungan yang telah ditetapkan dalam The Clean Air Act Amandements dan juga protokol kyoto mengenai pengurangan emesi karbon rumah kaca yang dapat mendorong terjadinya Global Warming dan juga Climate Change. Dengan Pengembangan energi alternatif, salah satunya biofuel dimaksudkan untuk mengurangi karbon dioksida yang ada di atmosfer dan juga untuk meningkatkan kadar oksigen dan kualitas udara.

BBM nabati terdiri dari 3 jenis yaitu, bioetanol, biodiesel, dan biomass. Bioetanol dapat terbuat dari kedelai, jagung, tebu dan untuk biodiesel dapat terbuat dari minyak kelapa sawit (CPO) dan juga dari buah jarak pagar (Jatropa Curcas). Sedangkan biomass dapat terbuat dari limbah cair, limbah kotoran ternak, dan bahkan kotoran manusia. Ketiga bahan baku BBM nabati tersebut banyak tersedia di alam Indonesia. Jadi, dengan melimpahnya sumber bahan baku BBM ini diharapkan adanya upaya serius untuk mengembangkan lebih lanjut BBM nabati guna terciptanya keamanan energi.

Dalam upaya mengembangkan BBM nabati di Indonesia dengan lebih optimal, Indonesia dapat mengambil pengalaman negara-negara lain yang telah mengembangkan BBM nabati ini sebelumnya. Salah satunya, negara Brazil yang telah berhasil mengembangkan bioetanol dari ampas tebu yang telah dirintis hampir 30 tahun lebih dan telah mendapat respon yang luar biasa baik dari dunia maupun dari masyarakat Brazil sendiri, hal ini dibuktikan dengan penjualan kendaraan berbahan bakar bioetanol di Brazil mengalami kenaikan yang pesat. Selain Brazil, ada negara Amerika Serikat yang mengembangkan bioetanol yang berasal dari jagung. Menurut data asosiasi petani jagung Amerika Serikat (NCGA) menyatakan bahwa produksi jagung yang digunakan untuk produksi bioetanol mengalami kenaikan, dari tahun 2006 sebesar 5.8 milyar galon menjadi 8.3 milyar galon pada tahun 2007. Selain itu, Uni Eropa (EU) juga telah menetapkan peraturan mengenai penggunaan BBM nabati yaitu, sampai tahun 2020, 10 persen kendaraan di Eropa wajib menggunakan bahan bakar nabati ini. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia sendiri memiliki potensi yang luar biasa akan bahan baku bioetanol yaitu, jagung dan tebu yang tidak jauh berbeda dengan negara-negara produsen BBM nabati lain. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 produksi jagung mencapai 11 juta ton dan pada tahun 2007 mengalami kenaikkan hingga mencapai 13 juta ton sedangkan produksi tebu pada tahun 2005 sebesar 2.5 juta ton dan pada tahun 2006 naik menjadi sebesar 2.3 juta ton. Selain bioetanol Indonesia juga kaya akan bahan baku biodiesel yang berasal dari minyak kelapa sawit (CPO), bahkan Indonesia termasuk produsen CPO terbesar ketiga di dunia, dan untuk minyak dari jarak pagar (Jatropa Curcas) juga memiliki potensi yang besar, karena tanamannya yang mudah dalam perawatan. Sedangkan biomass berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006, produksi biomass sebesar 271 juta barel dan pada tahun 2007, mengalami kenaikkan menjadi sebesar 276 juta barel.

Hambatan Pengembangan Biofuel

Dalam usaha mengembangkan biofuel di Indonesia tidak terlepas dari adanya hambatan, baik dari dalam maupun dari luar. Hambatan dari luar adalah ketika ditemukannya ladang minyak bumi yang baru, sehingga produksi maupun cadangan minyak bumi dunia menjadi meningkat dan pada akhirnya mempengaruhi harga BBM dan penggunaan minyak bumi dalam negeri. Sedangkan hambatan dari dalam berhubungan dengan keseriusan dari pemerintah dan masyarakat. Mulai dari faktor sumber daya manusia (SDM) yang merupakan faktor krusial karena berhubungan dengan pendidikan. Sehingga untuk mengembangan biofuel dengan lebih intensif diperlukan SDM yang berkualitas. Selain faktor SDM, hambatan berikutnya adalah faktor kelembagaan. Dalam pengembangan biofuel selama ini belum adanya keseriusan dari pemerintah meskipun telah menetapkan Peraturan Presiden No. 5/2006 dan Instruksi Presiden No. 1/2006 pada 25 Januari 2006 tentang Kebijakan Energi, khususnya pemanfaatan energi yang berasal dari nabati. Namun pada kenyataannya, masih belum adanya pengembangan biofuel yang lebih intensif oleh pemerintah. Akan tetapi, pemerintah dapat memulai dengan memperbaiki proses birokrasi, sehingga penanam modal dapat mudah berinvestasi dalam mengembangkan biofuel.

Faktor penting berikutnya dalam pengembangan biofuel adalah infrastruktur. Faktor ini meliputi akses dari petani ke industri biofuel dan juga akses ke pasar. Apabila infrastruktur ini dipermudah harapannya biaya transaksi menjadi rendah sehingga pengembangan biofuel dapat lebih intensif. Untuk itu, semua faktor tersebut seharusnya menjadi perhatian yang utama dalam pengembangan biofuel di Indonesia. Selain itu, peran dunia akademisi juga sangat dibutuhkan dalam penciptaan alternatif pengganti minyak bumi melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan. Pada akhirnya harapan keamanan energi di Indonesia tidak hanya menjadi sebuah wacana akan tetapi dapat terealisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar