Laman

Rabu, 29 April 2009

EKONOMI KERAKYATAN (kajian Instrumen Penggerak Ekonomi Kerakyatan)

Pengaruh globalisasi terhadap negara-negara di berbagai belahan bumi, khususnya Indonesia memang sangat besar, terutama dalam bidang ekonomi-perdagangan. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya negara yang menjadi anggota baik itu IMF, WTO, APEC, World Bank dan sebagainya. Perdagangan internasional terus mengalami kenaikan pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an dari 27 persen intensitas perdagangannya menjadi 39 persen, serta aliran modal FDI (foreign Direct Investment) mengalami peningkatan dari US$ 192 milyar pada tahun 1988 menjadi US$ 610 milyar pada 19981.

Keikutsertaan Indonesia terhadap organisasi-organisasi di dunia, sesungguhnya telah berdampak negatif, salah satunya adalah mengenai arus modal atau penanaman modal asing (PMA). Menurut Prawiro: Undang-undang Indonesia yang mengatur arus modal, dengan demikian menjadi yang paling liberal di dunia, bahkan melebihi yang berlaku di negara-negara yang paling liberal2. Ditambah pula oleh pernyataan amien rais bahwa UU penanaman modal asing beserta peraturan Presiden No. 67 dan 77 tahun 2007 adalah pukulan telak dan mematikan bagi penegak kedaulatan ekonomi3.

Menurut Prof Mubyarto, Praktek-praktek liberalisasi perdagangan dan investasi di Indonesia bersamaan dengan globalisasi dari negara-negara industri terhadap negara-negara berkembang, sebenarnya dapat ditangkal dengan penerapan sistem ekonomi Pancasila (kerakyatan)4.

Penerapan ekonomi kerakyatan sebetulnya diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang disertai peningkatan pemerataan hasil ekonomi, yang selama ini hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa disertai oleh pemerataan hasil ekonomi, mulai dari pendapatan, lapangan kerja, menurunnya tingkat kemiskinan yang sesuai dengan Pancasila sila V: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Yang memiliki arti penting dalam mewujudkan kesejahteraan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ekonomi kerakyatan juga tercantum dalam UUD tahun 1945, pasal 33 ayat 1, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan”, ayat 2 ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi oleh negara”, ayat 3 ”Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sebagai bangsa Indonesia seharusnya bangga akan apa tercermin pasal 33 ayat 1,2, dan 3 yang dicanangkan oleh Bung Hatta, untuk menciptakan suatu system ekonomi yang dapat mensejahterakan seluruh warga Indonesia, melalui sistem ekonomi pancasila (kerakyatan).

Namun, dalam pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, pasal 33 terutama ayat 1 dimakna berbeda oleh presiden soeharto sebagai ekonomi yang dibangun berdasarkan bisnis keluarga, sehingga dalam hal ini keluarga soeharto menguasai seluruh kekayaan alam Indonesia yang sangat potensial. Hal menunjukan bahwa ekonomi pencasila (kerakyatan) yang dibangun oleh Bung Hatta masih belum dimengerti oleh sebagian bahkan seluruh masyarakat Indonesia5.

Hal inilah yang mengundang para ahli pemikiran bung hatta seperti Prof Mubyarto, Prof M. Dawam Rahardjo dan lain-lain untuk membuka kembali pemahaman akan ekonomi kerakyatan. Sebetulnya pemikiran Bung Hatta tentang ekonomi kerakyatan yang nyata adalah pengembangan koperasi yang terinspirasi dari perjuangan kaum buruh dan tani di Eropa6. Dengan terbentuknya koperasi diharapkan dapat menjadi alat perjuangan ekonomi kerakyatan.

Koperasi memang sangat penting bagi penggerak ekonomi kerakayatan karena selain modalnya dari masyarakat, modal tersebut dapat digunakan untuk kepentingan anggotanya, dan kepemilikan koperasi yang bebas (masyarakat dapat menjadi anggota) serta kekuasaan tertinggi berada pada Rapat Umum. Seseorang atau individu tidak dapat memiliki secara penuh, sehingga menjadi tanggung jawab seluruh anggotanya dalam sistem pengelolaannya.

Di sisi lain, alat perjuangan ekonomi kerakyatan yang lain adalah UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), yang telah banyak diusahakan oleh masyarakat Indonesia bahkan jumlahnya telah mencapai 30 juta7 bahkan dapat lebih. UMKM sebagi model dari perjuangan ekonomi kerakyatan yang baru setelah koperasi memiliki peran yang penting dalam meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pemerataan ekonomi.

Dalam pengembangan ekonomi kerakyatan tidak pula lepas dari tangan pemerintah, perbankan maupun masyarakat luas. Namun perlunya sinergisitas yang baik, seperti pemerintah melalui peran regulasi dan pendanaan (APBN dan APBD), perbankan sebagai instrumen intermediasi melalui kredit sektor riil, dan juga masyarakat sebagi pelaku dan juga konsumen dari hasil ekonomi kerakyatan. Dengan senerginya ketiga instrumen penting tersebut dalam pengembangan ekonomi kerakyatan sebagai sistem alternatif ekonomi Indonesia, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Koperasi Sebagai Murni Penggerak Ekonomi Kerakyatan

Koperasi sebagai awal penggerak dari ekonomi kerakyatan yang dipopulerkan oleh Bung Hatta ini memang memiliki manfaat yang besar dalam mengelola ekonomi rakyat. Di Indonesia, menurut Ketua Umum Dekopin, saat ini terdapat sekitar 116.000 unit koperasi8. seandainya dari jumlah tersebut terdapat 20-30% saja yang kinerjanya bagus, tentu peran koperasi bagi perekonomian nasional akan sangat signifikan. Bahkan Koperasi di Jerman telah memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian bangsa, sebagaimana halnya koperasi-koperasi di negara-negara skandinavia. Koperasi konsumen di beberapa negara maju, misalnya Singapura, Jepang, Kanada dan Finlandia mampu menjadi pesaing terkuat perusahaan raksasa ritel asing yang mencoba masuk ke negara tersebut9

Kuat koperasi merupakan efek dari sistem pengelolaan yang berdasarkan azas kekeluargaan, hal ini karena modalnya yang berasal dari para anggotanya, serta sistem keanggotaan yang bebas (masyarakat umum dapat menjadi anggota koperasi), modalnya digunakan untuk keperluan kesejahteraan anggotanya, serta pendapatan anggotanya dari koperasi berdasarkan SHU dan juga pemegang kekuasaan tertinggi dari koperasi adalah Rapat Umum .

Salah satu, koperasi yang sukses adalah GKBI yang menaungi usaha batik, KOPTI yang menaungi usaha tahu dan tempe, serta banyak KUD yang telah menjadi terbesar kecamatan wilayah kerjanya masing-masing10. Koperasi memang banyak menaungi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga dengan ikut koperasi dapat menumbuh kembangkan usaha masyarakat ke arah yang lebih baik.

Kunci sukses dalam pengembangan koperasi sebagai penggerak ekonomi kerakyatan11, antara lain:

1. Pemahaman pengurus dan anggota akan jati diri koperasi (co-operative identity) yang antara lain dicitrakan oleh pengetahuan mereka terhadap ”tiga serangkai” koperasi, yaitu pengertian koperasi (definition of co-operative), nilai-nilai koperasi (values of co-operative) dan prinsip-prinsip gerakan koperasi (principles of co-operative)

2. Pengurus koperasi harus mampu mengidentifikasi kebutuhan kolektif anggotanya (collective need of the member) dan memenuhi kebutuhan tersebut

3. Kesungguhan kerja pengurus dan karyawan dalam mengelola koperasi. Disamping kerja keras, figur pengurus koperasi hendaknya dipilih orang yang amanah, jujur serta transparan

4. Kegiatan (usaha) koperasi bersinergi dengan aktifitas usaha anggotanya.

5. Adanya efektifitas biaya transaksi antara koperasi dengan anggotanya sehingga biaya tersebut lebih kecil jika dibandingkan biaya transaksi yang dibebankan oleh lembaga non-koperasi

Dengan mengembangkan koperasi melalui kunci sukses di atas, diharapkan koperasi dapat digunakan kembali sebagai alat penggerak ekonomi kerakyatan yang lebih efektif.

UMKM Sebagai Instrumen Lain Penggerak Ekonomi Kerakyatan

UMKM merupakan elemen lain penggerak ekonomi kerakyatan, hal ini karena kegiatan ekonomi sebagian besar pelakunya adalah masyarakat dengan jenis usaha yang kecil dan menengah (sektor riil). UMKM merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian Indonesia. Kontribusinya terhadap PDRB mencapai 56,7 persen. Bandingkan dengan kontribusi yang bersumber dari ekspor nonmigas yang hanya mencapai 15 persen. UMKM juga memberi kontribusi sebesar 99,6 persen dalam hal penyerapan tenaga kerja12.

Bahkan ketika terjadi krisis tahun 1997/1998, sektor rill (UMKM) tetap bertahan di tengah keterbatasan ketika Usaha besar banyak yang berguguran, akibat dari gempuran kondisi internal dan eksternal yang semakin buruk. Kehebatan UMKM kembali terbukti ketika kembali krisis keuangan global pada tahun 2008, ketika ekonomi global terganggu akibat resesinya Amerika Serikat. Namun, UMKM tetap bertahan bahkan tumbuh kembang dengan baik.

Urgensi pengembangan UMKM untuk mengurangi kemiskinan dan juga meningkatkan kesempatan kerja memang sudah terlihat dari berbagi program pemerintah yang antara lain, KUR, PNPMandiri, dan lain-lain. Semua program ini memang bertujuan mengangkat kembali usaha milik masyarakat. Sehingga dapat menjadi fondasi ekonomi Indonesia yang kuat.

UMKM sebagai cerminan ekonomi kerakyatan memang terlihat dari kepemilikannya yang sebagian besar usahanya adalah masyarakat. Contohnya, Industri kripik tempe malang, yang sekarang telah menjadi industri unggulan kota Malang maupun Industri pengolahan telur asin brebes, yang juga menjadi industri unggulan kota Brebes bahkan telah menjadi lambang kota Brebes, kedua industri tersebut merupakan segelintir cerita sukses dari ekonomi rakyat.

Pengembangan UMKM kedepannya perlu menjadi perhatian yang lebih serius lagi baik pemerintah, perbankan, maupun masyarakat, sehingga dengan adanya partisipasi yang menyeluruh dapat mengangkat keberadaan UMKM sebagai penopang perekonomian Indonesia menuju masyarakat yang sejahtera.

Peran Pemerintah Melalui Pro Poor Budget

Berdasarkan pasal 23 ayat 1, “anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”13. Melihat dari isi pasal tersebut dapat tercermin perlu adanya penganggaran pemerintah berupa APBN atau APBD yang lebih kearah meningkatkan kemakmuran rakyat atau Pro Poor Budget.

Kebijakan pro rakyat miskin (Pro Poor Policy) merupakan tindakan politik yang bertujuan mengalokasikan hak-hak dan sumber daya kepada perorangan, organisasi, dan wilayah yang terpinggirkan oleh negara dan pasar (Moore dan Putzel, 2000 dalam Prakarsa, 2009)14. Perlu adanya keberanian dari para elit pemerintah untuk mengalokasikan anggaran demi membangun kebijakan yang pro dengan rakyat miskin (UMKM).

Sesuai dengan pasal 34 ayat 2, yang berisi “negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat

Memaknai pasal tersebut sebagai upaya pemerintah dalam memberdayakan masyarakat yang lemah (miskin).

Anggaran yang pro rakyat miskin (Pro Poor Budget) adalah hal yang sangat penting bagi upaya pengentasan kemiskinan dan pemenuhan hak-hak dasar warga negara. Implementasi Pro Poor Budget dalam proses penganggaran juga akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi riil, penyediaan lapangan kerja, peningkatan pelayanan dasar, dan memperkuat perlindungan sosial, tidak hanya bagi masyarakat miskin tetapi juga semua warga negara (Septyandrica et al, 2008 dalam Prakarsa, 2009). Dengan mengutamankan anggaran yang berpihak terhadap rakyat diharapkan implementasinya dapat membangun ekonomi khususnya rakyat menjadi maju dan berkembang.

Belum mampunya pemerintah dalam mengusahakan anggaran Pro Poor Budget ini menjadi kenyataan. Hal ini lebih disebabkan oleh lemahnya perencanaan dan implementasi anggaran dan bukan karena faktor terbatasnya anggaran (Septyandrica et al, 2008 dalam Prakarsa, 2009)15. Sesungguhnya dalam menyusun anggaran yang pro rakyat miskin (Pro Poor Budget) perlu adanya perencanaan yang matang dari para elit pemerintah sehingga anggaran tersebut tidak menjadi racun perekonomian Indonesia akibat dari kesalahan perencanaan.

Menurut prakarsa16, anggaran pro rakyat miskin dalam proses penganggaran dapat dilakukan melalui tiga hal, yaitu: (i) memperbaiki sisi pengelolaan keuangan negara dengan mengkoordinasikan kebijakan fiskal dan moneter untuk mendorong stimulus fiskal, pertumbuhan yang pro poor, serta proses penganggaran yang transparan, partisipatif dan akuntabel; (ii) menguatkan sisi pendapatan dengan mengoptimalkan peran pajak untuk mengatasi defisit anggaran serta menurunkan pajak yang memberatkan rakyat miskin; serta (iii) mengefektifkan sisi belanja negara dengan melakukan peningkatan belanja modal serta alokasi investasi pada sektor krusial infrastruktur dasar, partanian dan UKM); meningkatkan agregat belanja sosial, khususnya anggaran pendidikan dan kesehatan serta pelayanan dasar lainnya, dan memilih jenis subsidi yang paling efektif dan menyentuh rakyat miskin. Dengan memaksimalkan ketiga hal tersebut, perencanaan anggaran Pro Poor Budget dapat berjalan dengan baik dan efisien, serta tidak menjadi racun bagi perekonomian. Selain itu juga demi terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

ENERGY SECURITY AGENDA IN INDONESIA: BIO-ETHANOL POTENCY APPROACH

The urgency of energy security all over the world, particularly in Indonesia is perceived as the main issue that is related with economic development. This issue started in 1970’s where OPEC decided to embargo oil crude production to result in the decrease of oil quantity to be exported to countries that need oil in large amount, such as United Stated. The impact of this policy was stagflation leading to world economic resesion. World crude oil price continued increasing until 2008 and exactly in October 2008 it was $100-150 perbarel. This fact caused negatif effect in world economy (Maria, 2008).

The instability of world crude oil price was caused by several factors. First, the demand and supply of crude oil itself. On supply side, oil price is influenced by the amount of oil stock as well as political situation among members of OPEC. And on demand side, oil price is influenced by the demand from industrial countries, such as, United States, China, India, and Japan. Oil and metal demand from China and India in 2002, increased by 90 percent based on data from IMF (cited by Maria, 2008). Second, oil price in the world is influenced by the fund manager from oil company who takes profit from rising energy stock price, and the next factor is the policy about the development of alternative energy resources (Raghunala, 2006).

There are many reasons to develop alternative energy resources. One of alternative energy resources is biofuel, especially bio-ethanol that is expected to be able to substitute crude oil as the main energy resources. Environment protection is one of the reasons to improve alternative energy resources program, based on agremeent in Climate Change Conference and Kyoto Protocol that give recommendation to decrease the effect of global warming and to minimize the impact of climate change, e.g bio-ethanol that could reduce carbondioxide in atmosphere, rise oxygen and air quality.

Table 1. Final Energy Consumption by Sector

Energy Consumption (included Biomass)

Source: CBS, 2006

The fresh idea about alternative energy resources in Indonesia is influenced by the amount of fuel consumption in this country. Based on the data (table 1) provided by Central Bureau of Statistics (CBS), in 2006, the total final energy consumption in Indonesia was 853.804.354 BOE (Barel Oil Equivalent). Meanwhile, the biggest number of consumption of fuel was dominated by industry sector, household sector, and transportation sector, 801.525.402 BOE (Barel Oil Equivalent).

Developing bio-ethanol as an alternative energy resource is aimed to decrease heavy dependence on fosil oil and this project should be important agenda (planning) to secure the supply of energy as unrenewable resources and to avoid economic problem. Now, Indonesia which was known as a potential oil exporter has changed be a potential oil importer (Modjo, 2008). This paper intends to discuss the agenda to secure energy by reviewing the potency of bio-ethanol in Indonesia toward sustainable energy resources.

Improving bio ethanol intensively will give positive impacts, such as to decrease the dependency on crude fuel, create energy resources that support environment protection program, create jobs and reduce poverty rate.

Great potency in Indonesia to develop new energy resources could be analyzed from the amount of the production of raw material such as Maize (15.860.299 ton), Sugarcane (2.785.000 ton) dan Cassava (20.834.241 ton). Total production of bio-ethanol in Indonesia which is almost 180 milions litres will give positive effect to fulfill the demand of oil to cars 16.418 thousand KL, 16.035 megawatt electricity and industry. The great prospect of developing bio-ethanol is shown by number of producers of bio-ethanol that continue increasing. Eventhough, there are many prospects in Indonesia to develop bio-ethanol, there are challenges that must be faced like the decrease of world oil price, minimum investment to important sectors, both companies and agriculture sectors.

By doing so, intervention from government as policy maker is badly needed by issuing regulation through import tariff of bio-ethanol, renewable fuel standard and incentive to tax. The other steps to develop bio ethanol are to give incentive to agricultural sector through banking role and build infrastructure to distribute bio-ethanol easily.