Laman

Jumat, 03 Juli 2009

GLOBALISASI EKONOMI VS LINGKUNGAN

Fenomena globalisasi memang memberikan dampak terhadap pembangunan ekonomi negara-negara di dunia. Negara-negara semakin dapat bebas dalam melakukan kerja sama dalam membangunan ekonomi kearah yang lebih baik dan juga semakin mudahnya negara-negara memperoleh aliran modal dari negara-negara lain, sehingga membantu negara tersebut dalam mengembangkan pilar ekonominya. Membumingnya globalisasi tidak lepas dari peran institusi di dalamnya dalam mempromosikan keuntungan dari globalisasi itu sendiri bagi negara-negara yang menerima keberadaan globalisasi. Institusi itu tidak lain adalah IMF (International Monetary Fund), WB (World Bank) dan WTO (World Trade Organization), atau biasa dikenal dengan Washington Consesus, dengan membawa program mengenai perdagangan internasional, investasi asing langsung dan aliran pasar modal.

Dengan globalisasi dapat memberikan manfaat terhadap negara-negara untuk membuka diri dalam melakukan kerja sama serta meminta bantuan terhadap negara-negara lain, dan tidak hanya itu negara dapat memperoleh pendapatan neraca pembayaran melalui perdagangan internasional dengan negara lain. Dampak itu pun dirasakan oleh negara-negara berkembang, seperti Indonesia, menurut data dari ADB (Asian Development Bank, 2008), neraca transaksi berjalan Indonesia terus mengalami surplus, mulai dari tahun 1998 yang mengalami surplus sebesar 4,1 miliar dolar AS hingga mendapatkan surplus sebesar 11 miliar dolar AS pada tahun 2007. Dengan negara japan sebagai negara penerima ekspor terbesar Indonesia disusul oleh China dan Singapora, ketiga negara tersebut memang memiliki hubungan yang baik dengan negara Indonesia.

Selain perdagangan internasional, Indonesia juga memperoleh keuntungan dari semakin bebasnya aliran investasi dan modal dari negara-negara lain. Hal ini memang didukung oleh regulasi dari pemerintah Indonesia, yaitu Undang-undang penanaman modal, sehingga memudahkan masuknya aliran modal. Adanya investasi dari luar negeri memudahkan pemerintah dalam membangun fasilitas penting yang dapat menunjang dalam pembangunan ekonomi, seperti Infrastruktur dan fasilitas penting lainnya. Dengan membaiknya fasilitas pentingnya tersebut dapat mendorong efisiensi dan efektivitas aktivitas ekonomi sehingga pada akhirnya akan membangun ekonomi yang kuat.

Dengan terbukanya Indonesia terhadap investasi modal juga mempermudah bagi negara-negara lain untuk ikut serta dalam usaha kepemilikan saham terhadap perusahaan milik negara maupun membuka perusahaan baru atau bisa juga anak perusahaan MNC (Multinational Corporate) yang akan melebarkan sayapnya di Indonesia. Perusahaan MNC itu antara lain, Newmont, Petronas, Honda, Freeport, dan masih banyak lagi. Semakin banyaknya perusahaan dengan kepemilikan dua bendara di Indonesia, memang memberikan dampak yang positif bagi Indonesia, karena akan banyak menyerap tenaga kerja sehingga menurunkan angka pengangguran dan juga pemerintah mendapat pemasukan pendapatan melalui proporsi pajak dari perusahaan tersebut.

Dibalik cerita yang baik tersebut, sebetulnya tersimpan cerita buruk mengenai akibat dari pembangunan ekonomi yang tanpa batas tersebut. Terjadinya degradasi lingkungan merupakan cerita buruk yang harus diperhatikan, akibat dari perilaku aktivitas ekonomi. Hal ini karena setiap melakukan aktivitas ekonomi baik itu produksi maupun konsumsi tidak terlepas dalam memberikan pengaruh kepada lingkungan sekitar. Lingkungan (alam) merupakan aset yang sangat berharga dalam kehidupan manusia, selain sebagai sumber kehidupan (oksigen) dapat juga sebagai kontrol dalam aktivitas manusia, sebagai contoh, ketika manusia akan akan bercocok tanam atau menangkap ikan di laut maka mereka akan berpatokan dengan lingkungan (alam) dalam hal ini cuaca dan musim. Begitu pengaruhnya alam bagi manusia, seharusnya disadari oleh setiap manusia untuk menjaga dan merawat alam.

Masalah lingkungan akibat aktivitas ekonomi memang telah lama menjadi persoalan, mulai dari tahun 1990-an yaitu, dengan disahkannya Clean Air Act di tahun 1990, yang mengatur mengenai tata pengelolaan udara, namun menjadi cerita tersebut menajdi masa lalu ketika tahun 1994 sampai tahun 1998 dunia dilanda krisis. Isu lingkungan menjadi hangat kembali ketika pada tahun 2000-an diberitakan bahwa lapisan ozon mengalami kebocoran dan pemanasan global akibat dari efek rumah kaca dan pembakaran CO2, sehingga bumi tidak layak untuk ditinggali lagi oleh manusia. Isu lingkungan kembali membuming ketika adanya pertemuan Climate Change di Bali pada tahun 2008, mengenai semakin mendesaknya degredasi lingkungan bagi kehidupan manusia.

Keterkaitan yang sangat erat antara aktivitas ekonomi terhadap permasalahan lingkungan, ini dapat terlihat dari sektor penyumbang polusi di Indonesia. Untuk polusi udara penyumbang terbesar adalah sektor transportasi sebesar 80 persen, polusi udara di Indonesia memiliki cerita yang buruk karena Indonesia menjadi tiga besar dalam menyumbang polusi udara (Bali Post, Agustus 2007). Sektor Industri kimia dan rumah tangga menjadi penyumbang polusi air, sedangkan sektor Industri pertambangan menjadi sektor penyumbang kerusakan tanah.

Dampak yang negatif terhadap lingkungan seharusnya dapat diantisipasi pemerintah khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dengan penerbitan regulasi mengenai lingkungan. Contohnya, AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002) yang mengatur mengenai perencanaan pembangunan wilayah yang berwawasan lingkungan hidup dan juga memberi informasi kepada masyarakat mengenai dampak dari perencanaan usaha. Namun, pelanggaran sering terjadi dan biasanya terjadi terhadap penyertaan laporan mengenai pengelolaan limbah yang dimanupulasi (Walhi, 2008).

Pemerintah juga telah memberikan wewenang kepada perusahaan untuk lebih memperhatikan lingkungan sekitar, yaitu melalui pemberian program CSR (Corporate Sosial Responsibility) yang mewajibkan membagi hasil pendapatan untuk digunakan dalam pembangunan daerah sekitar agar dapat lebih baik. Pembagian penggunaan aliran dana CSR yang sebagian besar berupa pembangunan fisik, yaitu pemberian beasiswa pendidikan kepada warga sekitar, serta pembangunan fasilitas umum kepada warga, di sisi lain ini tidak diimbangi dengan perawatan maupun recovery kepada lingkungan (alam) akibat proses produksi perusahaan. Walhi menyebutkan bahwa sungai di daerah sekitar penambangan PT. Freeport telah mengalami kerusakan yang sangat parah dengan kerugian sekitar Rp 67,5 Triliun dan perlu waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan biota sungai tersebut. (Walhi, 2007).

Selain itu, pemberian pajak kepada perusahaan sudah dilaksanakan untuk dapat mengganti kerusakan yang ditimbulkan. Pajak itu berupa pajak lingkungan yang diharapkan dapat memberi efek kepada perusahaan untuk dapat menanggulangi kerusakaan lingkungan. Pemerintah juga akan memberikan insentif kepada perusahaan yang mampu meminimalisasikan kerusakan pada lingkungan. Kesadaran mengenai penanggulangan lingkungan dapat terlihat adanya audit mengenai dampak lingkungan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan juga mengenai laporan audit penggunaan CSR. Dengan begitu, permasalahan terjadinya penyelewengan oleh perusahaan terhadap kewajiban lingkungan dapat diminimalkan.

Mengenai masalah kerusakan lingkungan memang masalah yang sangat urgen karena merupakan tanggung jawab tidak hanya produsen selaku produksi barang maupun jasa tetapi juga konsumen selaku pengguna barang dan jasa. Untuk perlu adanya kesadaran seluruh manusia untuk menjaga lingkungan untuk masa depan atau dengan memulai dari hal-hal yang terkecil, seperti membuang sampah pada tempatnya, ataupun mendaurulang sampah menjadi barang komersial dan juga dengan melakukan semboyan ”One Man One Tree” untuk menghijaukan kembali bumi ini.

KRISIS 2008: MEMBANGUN KESIAPAN INDONESIA DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

1.1 Latar Belakang

Arus globalisasi memang memberikan dampak terhadap pembangunan ekonomi negara-negara di dunia dan juga memberikan permasalahan yang serius. Negara-negara di dunia diuntungkan dengan semakin bebasnya melakukan kerja sama dalam membangunan ekonomi kearah yang lebih baik (open economy) dan juga merpermudah negara-negara tersebut memperoleh aliran modal dari negara-negara lain, sehingga membantu negara tersebut dalam mengembangkan pilar ekonominya. Membumingnya globalisasi tidak lepas dari peran institusi di dalamnya dalam mempromosikan keuntungan dari globalisasi itu sendiri bagi negara-negara yang menerima keberadaan globalisasi. Institusi itu tidak lain adalah IMF (International Monetary Fund), WB (World Bank) dan WTO (World Trade Organization), atau biasa dikenal dengan Washington Consesus, dengan membawa tiga (3) program unggulan, yaitu: perdagangan internasional, investasi asing langsung dan aliran pasar modal.

Dengan globalisasi dapat memberikan manfaat terhadap negara-negara untuk membuka diri dalam melakukan kerja sama serta meminta bantuan terhadap negara-negara lain, dan tidak hanya itu negara dapat memperoleh pendapatan neraca pembayaran melalui perdagangan internasional dengan negara lain. Dampak itu pun dirasakan oleh negara-negara berkembang, seperti Indonesia, menurut data dari ADB (Asian Development Bank, 2008), neraca transaksi berjalan Indonesia terus mengalami surplus, mulai dari tahun 1998 yang mengalami surplus sebesar 4,1 miliar dolar AS hingga mendapatkan surplus sebesar 11 miliar dolar AS pada tahun 2007.

Selain perdagangan internasional, Indonesia juga memperoleh keuntungan dari semakin bebasnya aliran investasi dan modal dari negara-negara lain. Hal ini memang didukung oleh regulasi dari pemerintah Indonesia, yaitu Undang-undang penanaman modal, sehingga dapat mengatur masuknya aliran modal. Adanya investasi dari luar negeri memudahkan pemerintah dalam membangun fasilitas penting yang dapat menunjang dalam pembangunan ekonomi, seperti Infrastruktur dan fasilitas penting lainnya. Dengan membaiknya fasilitas pentingnya tersebut dapat mendorong efisiensi dan efektivitas aktivitas ekonomi sehingga pada akhirnya akan membangun ekonomi yang kuat.

Namun, di sisi lain, fenomena globalisasi dapat memberikan permasalahan yang serius dalam perekonomian Indonesia bahkan perekonomian negara-negara di dunia. Sebagai contoh, krisis keuangan global tahun 2008 lalu, yang dampaknya masih dirasakan hingga saat ini. Diawali dari keuangan Amerika Serikat, lalu menyebar ke negara-negara sekutu Amerika Serikat hingga berdampak pada negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Penyebaran ini merupakan efek dari globalisasi yang semakin luas, karena proses globalisasi adalah proses interkoneksi antar masyarakat sehingga kejadian-kejadian yang terjadi di suatu negara atau masyarakat akan mempengaruhi negara atau masyarakat lain (Rais, 2008).

Proses penyebaran krisis keuangan global tahun 2008, dimulai dari bangkrutnya perusahaan investasi terbesar ke-3 di Amerika Serikat, Lehman Brother. Diakibatkan oleh kegagalan pembiayaan kredit perumahan, atau dikenal Suprime Mortgage, oleh para kreditur. Hal ini juga diakibatkan oleh transaksi derivatif dari saham property (perumahan) yang memiliki resiko tinggi, sehingga pada akhirnya saham derivatif tersebut menjadi biang keladi dalam kehancuran sistem keuangan Amerika Serikat. Dengan ambruknya perusahaan investasi tersebut pada akhirnya mendorong kepanikkan pasar dan ketidakpercayaan pelaku pasar asing dan domestik sehingga menurunkan harga indeks gabungan di dunia.

Efek dari krisis keuangan ini juga berdampak terhadap pasar keuangan negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya harga indeks gabungan Indonesia (IHSG), hingga menyentuh posisi 1.290 dan rupiah mengalami depresiasi sehingga menyentuh Rp.12.000 perDolar. Efek ini juga membuat Bank Sentral (BI) melakukan intervensi valuta asing untuk menghindari semakin beredarnya uang (hot money), namun dengan kebijakan ini BI harus merelakan cadangan devisanya (Satria, 2009).

Untuk itu perlu adanya peran pemerintah Indonesia maupun instansi yang terkait dalam mencari solusi atau kebijakan yang efektif untuk meredam dampak dari faktor eksternal yang menggangu kestabilan perekonomian Indonesia. Dengan adanya krisis keuangan global ini yang berbeda dengan keadaan krisis tahun 1997, yang dimana Indonesia pada waktu itu, terbelit hutang jangka pendek dan telah jatuh tempo, dapat menjadi pelajaran ke depannya dalam menghadapi permasalahan globalisasi dan juga kemajuan teknologi (Satria, 2009).

EFEK PENYEBARAN KRISIS KEUANGAN GLOBAL

Krisis keuangan global memang telah membawa efek domino yang sangat serius bagi perekonomian negara-negara di dunia. Ambruknya perusahaan investasi, Lahman Brother memicu banyak pelaku pasar mengalami kepanikkan terhadap pasar saham sehingga membuat harga saham gabungan di dunia mengalami penurunan, akibat penjualan saham yang berlebihan. Hal ini tersebut juga dapat menjadi indikator dari semakin berkurangnya volume perdagangan dan transaksi jual-beli saham, bahkan BEI (bursa saham Indonesia) dapat meraih nilai transaksi hingga mencapai Rp. 3 Triliun pada kondisi stabil, namun dengan terjadinya krisis global membuat berkurangnya nilai transaksi perdagangan (detikfinance, 2009).

Sebelum terjadinya Krisis keuangan global, perekonomian dunia telah di uji dengan tingginya harga minyak dunia yang mencapai sebesar US$ 145 per barel. Naiknya harga minyak ini membuat semakin beratnya biaya produksi sektor-sektor ekonomi yang potensial, seperti Industri Manufaktur. Hal ini diakibatkan semakin mahalnya bahan baku sehingga proses pengolahan menjadi semakin tidak efisien, dan pada akhirnya mempengaruhi harga jualnya. Akibat yang besar dari naiknya harga minyak dunia adalah semakin menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia. Di Indonesia dengan meningkatnya harga minyak telah mengubah komposisi APBN 2008 dan arah kebijakan moneter. Di sisi fiskal, kenaikan harga minyak di atas asumsi USD 60 per barel pada saat bersamaan akan meningkatkan baik pendapatan maupun belanja negara.

Sebetulnya penyebaran krisis keuangan global dapat dilihat dari pendapatan nasional Amerika Serikat yang mengalami defisit pada sisi neraca pembayaran, yang terdiri dari Neraca Transaksi berjalan (ekspor-Impor) dan Neraca Modal (Aset).

Grafik 4.1 GNP AS 2000

Dari di atas memperlihatkan bahwa defisit terjadi pada neraca pembayaran kisaran US$ 200-300 miliar pada tahun 2000. Pada neraca pembayaran Amerika Serikat, proporsi yang terbesar menyumbang defisit adalah pada neraca modal, yaitu transfer aset atau modal (capital inflow) dari berbagai negara baik maju maupun negara berkembang. Besarnya transfer modal atau aset kepada Amerika Serikat, hal ini karena para investor bahkan spekulan melihat keuntungan apabila melakukan transaksi di Amerika Serikat. Selain itu juga, karena besarnya proporsi sumbangan Amerika Serikat terhadap jumlah PDB dunia yaitu, kisaran 12-14 persen. Namun, rata-rata para investor lebih tertarik pada transaksi di pasar saham karena keuntungannya yang bersifat jangka pendek. Yang menjadi masalah adalah rentannya pasar saham terhadap gejolak ekonomi, sehingga apabila ekonomi terganggu maka pasar saham pun akan bergerak negatif.

Grafik 4.2 Pertumbuhan Ekonomi Dunia (Bank Indonesia)

Akibat krisis keuangan global menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia menurun dari 4.7 persen pada tahun 2004 menjadi 3 persen pada tahun 2008. Perlambatan ekonomi dunia saat ini dipicu oleh signifikannya pelemahan ekonomi di negara-negara maju terutama AS sebagai episentrum krisis Keuangan global. Kinerja ekonomi AS semakin menurun hingga mencapai 1% pada tahun 2008, jauh di bawah pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 2,7% maupun perkiraan awal IMF pada April 2008 sebesar 1,3% (bank Indonesia, 2009)

Grafik 4.3

Pada grafik di atas memperlihatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia menyebabkan volume perdagangan dunia mengalami penurunan yang cukup tajam. Setelah mencapai pertumbuhan rata-rata sekitar 8,1% selama lima tahun terakhir, pertumbuhan volume perdagangan dunia menurun tajam menjadi sebesar 4,1% pada tahun 2008 seiring dengan pelemahan permintaan global. Terhambatnya pertumbuhan perdagangan dunia ini terutama terkait dengan berkurangnya permintaan impor dari negara maju yang pada akhirnya berimbas pada memburuknya kinerja ekspor negara berkembang (Bank Indonesia, 2009)

Efek dari krisis global juga menyebabkan kebangkrutan perusahaan asuransi AIG yang memang banyak menyimpan dana investasinya di Lehman brother sehingga memberikan dampak sangat akut terhadap kehancuran perusahaan itu. Untuk perusahaan yang terkenal Big three, General Motors (GM), Ford, dan Chrsyler, meskipun tidak mengalami kebangkrutan namun, perusahaan tersebut mengalami penurunan penjualan akibat menurunya volume permintaan produk mereka dan juga ekspor produk ke berbagai negara, yang pada akhirnya memicu pengangguran besar-besaran akibat PHK seperti dalam grafik di bawah.

Grafik 4.4

Efek lanjutan dari pelemahan ekonomi AS yang terjadi sejak tahun 2007 yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran AS di 2008. pada akhirnya semakin memperlambat kegiatan konsumsi dan investasi masyarakat melalui efek rambatan penurunan pertumbuhan pendapatan. (Bank Indonesia, 2009)

Hadiah Amerika Serikat Kepada Indonesia

Efek yang buruk terhadap perekonomian Amerika Serikat menjadi awal dari merambatnya krisis keuangan global atau menjadi hadiah spesial Amerika Serikat kepada negara-negara di dunia khususnya Indonesia, yang menyebabkan menurunnya perekonomian dunia, bahkan memberikan dampak yang buruk lagi, yaitu, pertumbuhan yang terus menurun diikuti oleh inflasi yang parah, yang disebut Resesi. Negara yang mengalami resesi, antara lain; Jepang, singapura dan negara-negara yang memiliki hubungan baik, dalam arti negara yang sangat bergantung pada pasar Amerika Serikat. Untuk Indonesia, dampak memang buruk, pertumbuhan perekonomian Indonesia menurun dari 6,3 persen pada tahun 2007 menjadi kisaran 6 persen pada tahun 2008 dan juga menurunkan volume ekspor Indonesia akibat penurunan daya beli masyarakat dunia.

Dampak yang dirasakan negara-negara di dunia khususnya Indonesia, memang sangat buruk. Apabila dapat diurutkan gejala dari penyebaran krisis keuangan global dari Amerika Serikat kepada Indonesia, adalah dimulai dari merosot tajamnya nilai IHSG (indeks harga gabungan) Indonesia dari kisaran 1.600 menjadi posisi 1.290, yang diakibatkan sentimen negatif dari pelaku pasar yang berekspektasi negatif akibat ambruknya pasar saham di dunia sehingga pelaku pasar banyak menjual sahamnya. Kurs rupiah pun mengalami depresiasi sehingga menembus angka Rp. 12.000 per dolar, akibatnya banyak para investasi valuta asing beramai-ramai menukarkan dolarnya ke rupiah sehingga peredaran uang di masyarakat menjadi meningkat dan juga menyebabkan menurunnya suku bunga. Dengan Efek ini juga membuat Bank Sentral (BI) melakukan intervensi valuta asing untuk menghindari semakin banyak beredarnya uang (hot money), namun dengan kebijakan ini BI harus merelakan cadangan devisanya berkurang (Satria, 2009), selain itu, inflasi meningkat menjadi 11 persen akibat krisis keuangan global (Bank Indonesia, 2009)

Berbagai kebijakan diambil Bank sentral melalui menaikkan BI rate menjadi 9.5 untuk menghindari adanya capital outflow yang berlebihan, meskipun di sisi lain akan berdampak pada menurunnya tingkat investasi. Namun, dalam banyak penelitian, Investasi banyak dipengaruhi oleh faktor, antara lain: kelembagaan, kepastian politik dan keamanan serta kepastian hukum. Selain itu, BI bersama LPS telah menerapkan jaminan simpanan sebesar 2 miliar untuk mengamankan deposito masyarakat, sehingga memberikan rasa aman bagi nasabah. Di sisi lain, BI juga menetapkan instrumen GMW (Giro Wajib Minimum) hingga 10 persen untuk mengamankan likuiditas perbankan dan juga mengendalikan tingkat inflasi, namun kebijakan ini akan berdampak pada menurunkan proporsi kredit akibat kewajiban perbankan untuk menyimpan lebih modalnya atau likuiditasnya sebesar 10 persen.

Dampak yang krusial adalah meningkatnya angka pengangguran akibat PHK besar-besaran yang dilakukan perusahaan akibat menurunnya penjualan produknya. Terdapat dua sektor yang mengalami ujian berat akibat krisis global yaitu, sektor industri dan perdagangan. Hal ini karena kedua sektor ini memang bergerak dalam bidang ekspor sehingga apabila ekonomi di dunia mengalami penurunan maka akan berimbas pada menurunnya daya beli, yang pada akhirnya menurunkan pendapatan sektor tesebut. Pada sektor ketenagakerjaan, tingkat pengangguran akan ikut meningkat dari tahun 2007 yang sebesar 9,1 persen menjadi sekitar 10 persen pada tahun 2008, begitu juga pada tahun 2009, diperkirakan pengangguran akan meningkat sebesar 11-12 persen. Dengan meningkatnya tingkat pengangguran akan berdampak pula pada meningkatnya tingkat kemiskinan, untuk itu perlu adanya kebijakan yang constructive untuk meredam efek yang semakin parah dari krisis global.

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI KRISIS

Upaya untuk meredam dampak dari krisis keuangan global memang sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan kembali pertumbuhan ekonomi yang positif. Pertumbuhan ekonomi yang membaik dapat diperlihatkan dari semakin meningkatnya volume perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri, membaiknya sektor perbankan dalam menyalurkan dananya ke sektor yang fundamental dan juga meningkatnya investasi ke sektor-sektor yang penting. Untuk menumbuhkan kembali pertumbuhan ekonomi perlu adanya kebijakan yang efektif dari pemerintah, terdapat tiga kebijakan yang sangat penting untuk menunjang petumbuhan ekonomi, antara lain:

  1. Pengembangan UMKM

UMKM merupakan suatu tonggak penggerak perekonomian Indonesia. Hampir 99,9 persen dari pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM bahkan menyumbangkan tingkat pertumbuhan ekonomi 2-4 persen per tahun bagi Indonesia. Besarnya potensi unit usaha UMKM yang mencapai 48,9 juta UMKM merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian Indonesia. Kontribusinya terhadap PDB mencapai 56,7 persen dibandingkan dengan kontribusi yang bersumber dari ekspor nonmigas yang hanya mencapai 15 persen. UMKM juga memberi kontribusi sebesar 99,6 persen dalam hal penyerapan tenaga kerja Bahkan ketika terjadi krisis tahun 1997/1998, sektor rill (UMKM) tetap bertahan di tengah keterbatasan ketika Usaha besar banyak yang berguguran, akibat dari gempuran kondisi internal dan eksternal yang semakin buruk. Kehebatan UMKM kembali terbukti ketika kembali krisis keuangan global pada tahun 2008, ketika ekonomi global terganggu akibat resesinya Amerika Serikat. Namun, UMKM tetap bertahan bahkan tumbuh kembang dengan baik.

Pengembang UMKM cukup membaik hal ini karena target penyaluran kredit mikro, kecil, dan menengah (MKM) perbankan tahun 2007 tercapai. Pada tabel di bawah memperlihatkan pertumbuhan kredit MKM mencapai 22,5%, lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 15,7%. Pertumbuhan tersebut melampaui target yang ditetapkan sebesar 20%, namun lebih rendah dari pertumbuhan kredit non-MKM sehingga porsinya mengalami sedikit penurunan menjadi 50,2%. Target penyaluran kredit mikro, kecil, dan menengah (MKM) perbankan tahun 2007 terlampaui. Pertumbuhan kredit MKM mencapai 22,5%, lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 15,7%. Pertumbuhan tersebut melampaui target yang ditetapkan sebesar 20%, namun lebih rendah dari pertumbuhan kredit non-MKM sehingga porsinya mengalami sedikit penurunan menjadi 50,2% Pertumbuhan kredit MKM didorong oleh kredit konsumsi. Kredit konsumsi meningkat sebesar Rp51,3 triliun (25,4%), sedangkan kredit modal kerja dan kredit investasi hanya meningkat masing-masing sebesar Rp33,6 triliun (19,7%) dan Rp7,4 triliun (20,0%). Kenaikan kredit konsumsi tersebut menyumbang 55,5% pada total kenaikan kredit MKM pada tahun 2007.

Tabel 4.1

Namun, masalah yang masih menghambat dari pengembangan UMKM adalah masih tingginya kredit macet di sektor ini, akibat pengembalian yang cukup lama dan juga bunga yang rendah, sehingga perbankan lebih memberikan proporsi kreditnya kepada yang bersifat konsumsi seperti KPR. Dari tabel di bawah memperlihatkan jumlah kredit macet (NPL)

Tabel 4.2

Dari tabel di atas (Bank Indonesia, 2009), memperlihatkan besarnya kredit macet dari UMKM berdasarkan jenis penggunaannya terus meningkat pada bulan januari tahun 2009, kredit macet sebesar Rp. 18 triliun, pada bulan februari meningkat sebesar Rp. 20 triliun. Hal inilah berdampak pada menurunnya kepercayaan bank kepada sektor UMKM, selain itu, masalah dari UMKM itu sendiri adalah masih banyaknya UMKM yang belum memiliki surat usaha dan juga tempat usaha yang tetap sehingga mempersulit UMKM untuk dapat bankable atau memiliki kelayakan untuk memperoleh kredit perbankan. Untuk itu perlu adanya kebijakan baik dalam hal pengawasan maupun regulasi untuk dapat memperbaikki kinerja UMKM yang sangat besar potensinya.

  1. Kebijakan Fiskal

Peran pemerintah memang sangat vital dalam mengatasi krisis keuangan global, yaitu melalui kebijakan fiskal. Kebijakan ini bersumber pada pengalokasiaan APBN untuk dapat maksimal dalam penggunaannya untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi yang mengalami penurunan akibat krisis keuangan global. Adapun kebijakan fiskal yang diambil pemerintah adalah stimulus fiskal 2009. Paket stimulus fiskal ini adalah upaya pemerintah untuk mengatasi krisis keuangan global yang semakin serius sehingga dapat diredam yang pada akhirnya menghindarkan Indonesia kelembah resesi yang lebih parah.

Di negara-negara lain pun menerapkan stimulus fiskal dengan penerapan kebijakan yang berbeda-beda, namun bertujuan yang sama yaitu, meredam krisis keuangan dan meningkatkan kembali kepercayaan pasar, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berikut ini adalah tabel stimulus fiskal di berbagai negara

Tabel 4.3

Stimulus fiskal Indonesia tahun 2009 pada APBN 2009 dalam rangka antisipasi dan penanganan dampak krisis global akan mencapai jumlah Rp71,3 triliun atau sekitar 1,4 persen dari PDB. Jumlah stimulus fiskal itu terdiri dari penghematan pembayaran pajak (tax saving) sebesar Rp43 triliun atau 0,8 persen dari PDB. Stimulus lain berupa subsidi pajak dan bea masuk ditanggung pemerintah (PPNDTP dan BMDTP) yaitu untuk eksplorasi migas dan migor sebesar Rp3,5 triliun (0,07 persen dari PDB), BMDTP bahan baku dan barang modal Rp2,5 triliun (0,05 persen dari PDB), PPh karyawan Rp6,5 triliun (0,12 persen dari PDB), dan PPh panas bumi Rp0,8 triliun (0,02 persen). Selain itu juga terdapat subsidi dan belanja kepada dunia usaha dan pencipataan lapangan kerja, yang terdiri dari penurunan harga solar (subsidi solar) Rp2,8 triliun (0,05 persen), diskon beban puncak listrik industri Rp1,4 triliun (0,03 persen), tambahan belanja infrastruktur Rp10 triliun (0,2 persen), dan perluasan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) sebesar Rp0,6 triliun atau 0,01 persen dari PDB. (Indonesia.go.id, 2009)

Berikut ini adalah tabel mengenai proporsi pembagian stimulus kepada kementerian negara dengan dana yang akan terealisasi sebesar Rp. 12 triliun. Setiap kementrian memiliki peran yang penting dalam memperbaiki perekonomian.

Tabel 4.4 Pembagian Stimulus Fiskal 2009 Per Departemen

No

KEMENTERIAN /LEMBAGA

Dana
Rp Mi
liar

KEGIATAN

1

DEPTAN

650

Jalan Sentra Produksi & Irigasi

2

DESDM

500

Transmisi, Jaringan, Gardu Induk, Desa Mandiri energi

3

DEPHUB

2,199

Infrastruktur KA, Bandara, Pelabuhan & Penyeberangan

4

DEPKES

150

Pengembagan RSCM

5

NAKERTRANS

300

Peningkatan fungsi BLK

6

DKP

100

Perumahan Nelayan, daerah perbatasan

7

DEP. PU

6,601

Jalan, Jembatan, Pemukiman, Air minum, Irigasi

8

MENKOP. & UKM

100

Pembangunan pasar untuk usaha Mikro & kecil

9

DEPDAG

335

Pasar Tradisional

10

MENPERA

400

Rusunawa TNI/Polri, Pekerja, Mahasiswa

11

BUN

865

Subsidi Obat, bunga untuk Air bersih


JUMLAH

12,200


  1. Kebijakan Pro Poor Budgeting

Berdasarkan pasal 23 ayat 1, “anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Melihat dari isi pasal tersebut dapat tercermin perlu adanya penganggaran pemerintah berupa APBN atau APBD yang lebih kearah meningkatkan kemakmuran rakyat atau Pro Poor Budgeting.

Kebijakan pro rakyat miskin (Pro Poor Policy) merupakan tindakan politik yang bertujuan mengalokasikan hak-hak dan sumber daya kepada perorangan, organisasi, dan wilayah yang terpinggirkan oleh negara dan pasar (Moore dan Putzel, 2000 dalam Prakarsa, 2009)14. Perlu adanya keberanian dari para elit pemerintah untuk mengalokasikan anggaran demi membangun kebijakan yang pro dengan rakyat miskin (UMKM).

Sesuai dengan pasal 34 ayat 2, yang berisi “negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat” memaknai pasal tersebut sebagai upaya pemerintah dalam memberdayakan masyarakat yang lemah (miskin).

Grafik 4.5 Pembiayaan Belanja Kemiskinan

Dari grafik di atas memperlihatkan perkembangan pembiayaan penduduk miskin melalui program pro rakyat yang telah dilaksanakan, seperti: PSO, kredit program, Raskin, PKH, PNPM, BLT, Bantuan Tunai bersyarat, dan BOS. Dengan adanya program yang telah terlebih dahulu dilaksanakan membuat beban kepada warga miskin dapat berkurang.

Anggaran yang pro rakyat miskin (Pro Poor Budgeting) adalah hal yang sangat penting bagi upaya pengentasan kemiskinan dan pemenuhan hak-hak dasar warga negara apalagi setelah krisis keuangan melanda. Implementasi Pro Poor Budgeting dalam proses penganggaran juga akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi riil, penyediaan lapangan kerja, peningkatan pelayanan dasar, dan memperkuat perlindungan sosial, tidak hanya bagi masyarakat miskin tetapi juga semua warga negara (Septyandrica et al, 2008 dalam Prakarsa, 2009). Dengan mengutamankan anggaran yang berpihak terhadap rakyat diharapkan implementasinya dapat membangun ekonomi khususnya rakyat menjadi maju dan berkembang.

Belum mampunya pemerintah dalam mengusahakan anggaran Pro Poor Budgeting ini menjadi kenyataan. Hal ini lebih disebabkan oleh lemahnya perencanaan dan implementasi anggaran dan bukan karena faktor terbatasnya anggaran (Septyandrica et al, 2008 dalam Prakarsa, 2009). Sesungguhnya dalam menyusun anggaran yang pro rakyat miskin (Pro Poor Budgeting) perlu adanya perencanaan yang matang dari para elit pemerintah sehingga anggaran tersebut tidak menjadi racun perekonomian Indonesia akibat dari kesalahan perencanaan.

Menurut prakarsa, anggaran pro rakyat miskin dalam proses penganggaran dapat dilakukan melalui tiga hal, yaitu: (i) memperbaiki sisi pengelolaan keuangan negara dengan mengkoordinasikan kebijakan fiskal dan moneter untuk mendorong stimulus fiskal, pertumbuhan yang pro poor, serta proses penganggaran yang transparan, partisipatif dan akuntabel; (ii) menguatkan sisi pendapatan dengan mengoptimalkan peran pajak untuk mengatasi defisit anggaran serta menurunkan pajak yang memberatkan rakyat miskin; serta (iii) mengefektifkan sisi belanja negara dengan melakukan peningkatan belanja modal serta alokasi investasi pada sektor krusial infrastruktur dasar, partanian dan UKM); meningkatkan agregat belanja sosial, khususnya anggaran pendidikan dan kesehatan serta pelayanan dasar lainnya, dan memilih jenis subsidi yang paling efektif dan menyentuh rakyat miskin. Dengan memaksimalkan ketiga hal tersebut, perencanaan anggaran Pro Poor Budgeting dapat berjalan dengan baik dan efisien, serta tidak menjadi racun bagi perekonomian pasca krisis keuangan global. Selain itu juga demi terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pembiayaan Defisit APBN 2009

Dalam perencanaan APBN terdiri dari sisi pendapatan negara dan hibah, belanja negara dan pembiayaan negara. Berdasarkan data BKF, pendapatan negara dan hibah tahun 2008 sebesar 981.82 triliun, untuk belanja negara sebesar 985.26 triliun, sedangkan pembiayaan negara sebesar 83.77 triliun. BKF bahkan memprediksi bahwa tahun 2009, penerimaan negara sebesar 80.4 persen, untuk penerimaan yang bukan pajak sebesar 15.92 persen sedangkan hibah sebesar 0.04 persen. Di sisi lain pengeluaran pemerintah tahun 2009 diprediksi, proporsi pengeluaran terbesar berada pada belanja non K/L (kementrian atau lembaga) sebesar 69.24 persen, dan pengeluaran terbesar kedua pemerintah berasal dari belanja K/L sebesar 30.76 persen.

Menurut Anggito, ketua Badan Kebijakan Fiskal (BKF), defisit anggaran APBN tahun 2009 akan meningkat dari Rp 51,3 triliun (1.0% GDP) menjadi Rp 139,5 triliun (2.5% GDP) akibat tekanan krisis keuangan global dan juga akibat kebijakan stimulus fiskal untuk menstabilkan perekonomian dalam negeri. BKF juga tetap menjaga defisit pada kisaran 1-3 persen dari GDP, ini diupayakan agar tidak berdampak pada bertambahnya utang kepada pihak luar akibat pendanaan yang defisit.

Ada beberapa skema mengenai pembayaran defisit tahun 2009 menurut BKF, antara lain;

a. Pada tahun 2008, APBN Indonesia mengalami surplus sebesar Rp. 51.3 Triliun. Hal ini menguntungkan Indonesia dalam melakukan penganggaran pada tahun 2009

b. Melalui penerbitan obligasi pemerintah sebesar Rp. 44.5 triliun. Pemerintah mentargetkan jumlah surat utang pemerintah pada posisi Rp 99 triliun, termasuk surat utang domestik, SUN Valas, Obligasi Samurai, Syariah Rupiah dan Global. Dalam usaha mengembalikan kepercayaan masyarakat mengenai kondisi ekonomi Indonesia.

c. Penarikan pajak. Pada tahun 2008 realisasi pajak mencapai Rp. 559,8 Triliun, sehingga mendukung surplus anggaran. Di sisi lain dengan kebijakan sunset policy, diharapkan tahun 2009 pajak yang terealisasi dapat lebih optimal.

Namun defisit tersebut didukung oleh kebijakan Stimulus fiskal dimaksudkan untuk mempertahankan daya beli masyarakat, memperkuat daya tahan dunia usaha, dan membangun infrastruktur padat karya, sehingga mampu memperbaiki perekonomian indonesia ke depannya.

MEMBANGUNAN KEMBALI KEKUATAN EKONOMI INDONESIA

Dampak yang buruk dirasakan akibat krisis keuangan global perlu menjadi sebuah pengalaman yang berharga bagi Indonesia. Yang mana, akibat yang dirasakan sungguh merusak, baik secara makro maupun mikro. Secara makro, dampak yang dirasakan akibat krisis adalah pertumbuhan ekonomi menurun dari 6.4 persen menjadi 6 persen pada tahun 2008, tingkat inflasi meningkat menembus angka 11 persen, tingkat nilai tukar menurun ke angka Rp. 12.000 per dolar, dan juga memperbesar defisit negara. Sehingga diperlukan kebijakan utama yang dapat memulihkan perekonomian, seperti kebijakan stimulus fiskal dan kebijakan pengembangan UMKM.

Selain dari kebijakan yang sudah dan akan dilaksanakan diperlukan juga kebijakan pendukung demi terciptanya keberlanjutan kebijakan utama tersebut. Memang diperlukan perencanaan yang baik dalam upaya menyukseskan kebijakan utama, seperti stimulus fiskal dan pengembangan UMKM. Namun kebijakan utama tidak akan berjalan dengan lancar apabila tidak merencanakan pula kebijakan pendukung (seconder policy). Hal ini karena kebijakan pendukung menitikberatkan pada upaya untuk memulihkan kepercayaan masyarakat yang melemah akibat krisis keuangan global.

Ada beberapa kebijakan yang sebetulnya dapat menjadi kebijakan pendukung dalam upaya mengembalikan perekonomian Indonesia menjadi pulih kembali. antara lain; KUR (kredit usaha rakyat) yang menitikbertakan dalam pemberian pinjaman kredit dengan angunan yang kecil, dengan pembiayaan mulai dari 5 juta sampai 500 juta, selanjutnya adalah PNPMandiri, program ini lebih menitikberatkan dalam upaya merangsang masyarakat dalam memperbaiki ekonominya, dengan bantuan biaya dari pusat dan daerah. Kedua kebijakan tersebut sebetulnya sudah sangat membantu ekonomi rakyat dalam mengahadapi krisis keuangan global.

Tabel 4.5

Terdapat sepuluh langkah atau kebijakan pendukung pemulihan kestabilan ekonomi, seperti dalam tabel di atas (Bank Indonesia, 2009). Inti dari kebijakan di atas adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat, menjaga volume perdagangan, menjaga tingkat devisa negara yang terkikis akibat tekanan spekulatif valuta asing, dan juga mengembalikan fungsi perbankan dalam menjaga kestabilan likuiditas. Dengan memaksimalkan langkah tersebut diharapkan kestabilan ekonomi dapat berjalan dengan baik.

Sebetulnya masih banyak kebijakan lain yang juga sangat penting dan mendasar dalam memulihkan perekonomian. Kebijakan yang luar biasanya tidak akan berjalan apabila yang menjadi sasaran dari kebijakan tersebut tidak sejalan. Adapun kebijakan lainnya, adalah, memaksimalkan pemanfaatkan kredit perbankan yang telah direalisasikan kepada pelaku usaha, meningkatkan jalinan kerja sama dengan pelaku usaha di luar negeri yang baru (khususnya pelaku usaha bidang ekspor), dan memaksimalkan pasar domestik ketika pasar ekpor menurun serta yang paling penting adalah menciptakan iklim investasi di Indonesia yang aman, dapat melalui perbankan shariah dengan sistem underlying transaction, karena jelas peruntukannya (akad) dan juga memiliki resiko yang kecil terhadap kejolak di pasar saham.